Selasa, 02 November 2010

Sejarah Jawa 2- peran pujangga

A. Pujangga
Pujangga dalam arti etimologi kata pujangga berasal dari bahasa sansekerta yaitu Bujangga,yang berarti ular dan pengikut seorang raja. Sedangkan menurut arti kata dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pendeta, pertapa, orang yang cerdik dan pandai, sifat-sifat pujangga, pengarang, pendeta mengenai kesusastraan pengarang.
Seorang Pujangga harus memilki kemampuan nawungkridha dan sambegan. Sambegan artinya kuat ingatan, dan nawungkridha berarti waskitha atau mengetahui rahasia segala sesuatu dengan ketajaman pandangan batinnya. Dalam hal ini Ranggawarsito telah memberikan batasan-batasan mengenai syarat-syarat menjadi seorang pujangga, yaitu:
a. Golongan wirya, yakni orang berderajat.
b. Golongan agama, yakni ulama.
c. Golongan pertapa, yakni pandhita.
d. Golongan sujana, yakni orang yang baik.
e. Golongan aguna, yakni orang pandai.
f. Golongan prawira, yakni golongan prajurit.
g. Golongan supunya, yakni orang yang kaya.
h. Golongan supatya, yakni golongan petani.
Seorang pujangga harus memiliki delapan kemapuan.
a. Ngawiryo atau orang luhur dan memiliki derajat
b. Ngagama atau ulama yang menguasai kitab agama
c. Ngatapa atau petapa atau pendeta yang ahli bertapa
d. Sujana atau orang memiliki kelebihan
e. Ngaguna atau orang yang memiliki ilmu dan kepandaian
f. Prawira atau prajurit yang tersohor
g. Supunya atau orang kaya yang berharta
h. Supatya atau petani yang tekun.
Dalam sebuah kesusastraan Pujangga bertugas.
a. Ingkang anyerat atau orang yang menuliskan naskah
b. Ingkang anganggit atau yang mengarang) naskah
c. Ingkang angiket atau yang mengumpulkan
d. Ingkang akarya sastra atau yang mengerjakan teks
e. Ingkang anedhak atau yang menyalin
B. Ritual Malam 1 Sura
a. Ritual Malam 1 Sura di Keraton Surakarta
Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Menurut Wardoto Sugiyanto, dosen ISI Yogyakarta, hari terakhir bulan dzulhijjah merupakan saat tutup tahun yang dimanfaatkan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena selama 1 tahun telah diberi umur panjang dan keselamatan. Sedang saat menjelang engah melam 1 Sura merupakan saat yang penting dan gawat karena akan memasuki tahun baru, saat yang paling tepat untuk melakukan semedi atau laku keprihatinan dengan memanjatkan doa dan sikap pasrah memohon pertolongan Sang Pencipta untuk menghadapi kehidupan yang akan datang. Orang biasanya tidak makan setelah Maghrib.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Sekadar catatan, sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab puasaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan keerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan.
Dan inilah yang menarik: orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
Peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Di luar itu, kerbau secara umum juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja di keraton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan oleh raja beserta rakyatnya. Mengapa justru kawanan kebo bule tersebut yang menjadi tokoh utama dalam tradisi ritual kirab malam 1 Sura?
Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau sebenarnya berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari. Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam.
b. 1 Sura dalam Pandangan Orang Jawa
Secara historis, bulan Sura merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa, terutama pandangan sebagian orang Jawa bahwa bulan Sura itu sakral. Ada keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan intrispeksi diri, pantang menyelenggarakan hajat seperti perkawinan, khitanan atau kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan. Hal ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan agama Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan yang lain.
Inti dari permasalahan ini adalah sifat manusia yang memiliki ketergantungan terhadap sesuatu yang gaib, alam dan sesama manusia. Sifat ketergantungan ini membawa konsekuensi logis dalam diri orang Jawa untuk senantiasa melakukan “laku ritual” atau introspeksi diri dalam menyiasati hidup. Laku ritual yang dijalankan misalnya berendam di air tempuran dua atau tiga sungai sambil laku bisu, berjalan mengelilingi tembok keraton dengan laku bisu tepat pukul 00.00, tirakatan di tempat-tempat tertentu yang dianggap petilasan atau tempat makam tokoh kharismatik, serta melihat pertunjukan wayang orang atau wayang kulit yang dipentaskan untuk menyambut tahun baru Jawa 1 Sura. Di samping itu, di kalangan istana diadakan tradisi siraman pusaka pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, sedangkan di kalangan rakyat pedesaan diadakan upacara bersih desa.
Ketika orang Jawa mengalami perkembangan intelektual di berbagai bidang IPTEK, seni dan agama, tampaknya cara memandang bulan Sura telah mengalami perubahan, terutama di kalangan orang Jawa yang taat melakukan syariat Islam.bahkan bulan Sura yang siklusnya sama dengan bulan Muharram seagai awal tahun baru Islam yang mengacu pada hijrahnya Nabi Muhammad SAW, bagi umat Islam dianjurkan untuk tidak melanggar larangan agama yang menjurus ke perbuatan syirik. Umat Islam dianjurka untuk melakukan doa memohon ampunan dan pertolongan Allah SWT. Dikalangan orang-orang Muhammadiyah, pada bulan Muharram atau bulan Sura sering diadakan kegiatan upacara hajat pernikahan atau khitanan. Sementara di kalangan umat Islam Jawa kebanyakan masih memandang bulan Sura adalah waktu yang kurang baik untuk melakukan hajatan.